(0362) 3301559
inspektoratdaearah@bulelengkab.go.id
Inspektorat Daerah

Kode Eik, Masih Perlukah?

Admin inspektoratdaerah | 19 Mei 2016 | 11557 kali

Kode Eik, Masih Perlukah?

Banyak terungkapnya kasus korupsi, kolusi, dan penyimpangan lainnya yang melibatkan pejabat negara, pejabat pemerintah ataupun oknum pegawai yang bekerja sama dengan pihak swasta, menunjukkan bahwa etika profesi, kode etik dan penegakkannya masih sangat diperlukan dimasing-masing institusi pemerintah maupun swasta. Apakah di instansi tempat kita bekerja sudah ditegakkan pelaksanaannya? Sebagai refreshing, berikut disajikan kembali secara ringkas mengenai etika, kode etik dan dewan/majelis kehormatan kode etik.

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu; “Ethikos” yang berarti timbul dari kebiasaan, adalah cabang utama dari filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab.

Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control”,  karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.

Istilah profesi sebagai mana telah banyak dipahami oleh banyak orang adalah suatu hal yang berkaitan dengan bidang pekerjaan yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian. Keahlian disini bukan sekedar ahli dalam melakukan sesuatu, namun keahlian yang didukung dengan penguasaan atas teori sistimatis yang mendasari pelaksanaan pekerjaannya, dan penguasaan atas hubungan antara teori dan penerapannya dalam peraktek.

Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencngkup pula bidang seperti manejer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, auditor, akuntan, sekretaris dan sebagainya.

Kode yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.

Kode Etik dapat diartikan sebagi pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berprilaku.

Kode etik profesi adalah Sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan yang baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.

Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu, sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945: 449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagi pedoman pelaksanaan tugas profesional dan pedoman bagi masyarakat sebagi seorang professional.

Pada umumnya kode etik profesi itu mencangkup tiga hal, yaitu mengatur tentang independensi, integritas dan profesionalisme yang harus dipatuhi dan dipedomani oleh seluruh anggota profesi yang bersangkutan dari semua level atau jabatan. Independensi mewajibkan anggota profesi untuk berperilaku dan bertidak obyektif, bebas dari pengaruh dan tekanan pihak lain, dan menghindarkan diri dari konflik kepentingan. Jika ia seorang pejabat publik/ negara maka ia tidak boleh berafiliasi kepada partai politik dan atau melakukan tindakan yang bernuansa atau bermuatan politis untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Integritas, anggota profesi diwajibkan bekerja dengan penuh pengbdian, menjaga diri dari perbuatan tercela, menjaga nama baik dan martaban organisasi, bangsa dan negara, tidak melakukan perbuatan yang merugikan profesi, dan tidak menjual rahasia organisasi untuk kepentingan pribadi.

Profesionalisme mengarahkan semua anggota profesi bekerja dengan kopetensi dan keahlian yang memadai, sesuai dengan standar dan prosedur,  cermat, teliti, dan akurat serta mengutamakan pelayanan yang berkualitas.

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan, majelis kode etik, atau komisi kode  etik yang dibentuk khusus itu. Karena tujuannya adalah mencegah  prilaku yang tidak etis, sering kali kode  etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik.

Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dari kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terdahap pelanggar. Namun demikian, dalam prakter sehari-hari kontrol ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan prilaku semacam itu solidartas antar kolega ditemapatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain.

Dewan/majelis kehormatan kode etik dibentuk untuk menindaklanjuti setiap pelanggaran kode etik, sehingga pelanggaran kode etik dapat diklasifikasi, diperiksa, disidik, disidangkan dan diputuskan kesalahan dan sanksi atas setiap pelanggaran yang terjadi. Dan pada gilirannya akan menekan jumlah pelanggaran  dan mencegah terulangnya kembali pelanggaran yang sama.

Jika dewan/majelis kode etik telah terbentuk, namun tidak pernah menindaklanjuti pelanggaran etika (sidang pelanggaran kode etik) yang dilakukan pejabat publik dan atau pegawai dilingkungan  organisasinya maka ada dua  kemungkinan. Kemungkinan petama, tidak ada pelanggaran kode etik selama itu atau kemungkinan kedua, kuranggya keberanian menindak pejabat publik yang melanggar kode etik. Semoga karena alasannya yang pertama.

Dikutip dari WARTA BPK, Edisi 12-Vol. III Desember 2013, Halaman 58-59 KOLOM, dengan Judul “Kode Etik, Masih Perlukah?” oleh Wahyu Priyono, Kepala Bagian Publikasi dan Layanan Informasi

Download disini